Rabu, 21 Maret 2012

Penanganan Susu Sapi Segar


BAB I. DESKRIPSI PRODUK
             Air susu termasuk jenis bahan pangan hewani, berupa cairan putih yang dihasilkan oleh hewan ternak mamalia dan diperoleh dengan cara pemerahan (Hadiwiyoto, 1983). Air susu merupakan bahan makanan utama bagi makhluk yang baru lahir, baik bagi hewan maupun manusia. Sebagai bahan makanan/minuman air susu sapi mempunyai nilai gizi yang tinggi, karena mengandung unsur-unsur kimia yang dibutuhkan oleh tubuh seperti Calsium, Phosphor, Vitamin A, Vitamin B dan Riboflavin yang tinggi. Komposisinya yang mudah dicerna dengan kandungan protein, mineral dan vitamin yang tinggi, menjadikan susu sebagai sumber bahan makanan yang fleksibel yang dapat diatur kadar lemaknya, sehingga dapat memenuhi keinginan dan selera konsumen (Gaman, 1981).
            Komposisi rata-rata susu sapi terdiri dari: Air 83,3 %, protein 3,2 %, lemak 4,3 %, karbohidrat 3,5 %, kalium 4,3 mg/100 gr, kalsium 143,3 mg/ 100 gr, fosfor 60 mg/100 gr, besi 1,7 mg/100 gr, vitamin A, SI 130, Vitamin B1 0,3 mg/100 gr dan vitamin C 1 mg/100 gr. Lemak
tersusun dari trigliresida yang merupakan gabungan gliserol dan asam-asam lemak. Dalam lemak susu terdapat 60-75% lemak yang bersifat jenuh, 25-30% lemak yang bersifat tak jenuh dan sekitar 4% merupakan asam lemak polyunsaturated.(Reed, 1995). Komponen mikro lemak susu antara lain adalah fosfolipid, sterol, tokoferol (vitamin E), karoten, serta vitamin A dan D. Laktosa adalah bentuk karbohidrat yang terdapat di dalam air susu. Kadar laktosa di dalam air susu adalah 4.60% dan ditemukan dalam keadaan larut. Laktosa terbentuk dari dua komponen gula yaitu glukosa dan galaktosa. Sifat air susu yang sedikit manis ditentukan oleh laktosa. Kadar laktosa dalam air susu dapat dirusak oleh beberapa jenis kuman pembentuk asam susu. Pemberian laktosa atau susu dapat menyebabkan mencret atau gangguan-gangguan perut bagi orang yang tidak tahan terhadap laktosa. Hal ini disebabkan kurangnya enzim lactase dalam mukosa usus (Sudono, 1999).
            Pada saat susu keluar setelah diperah, susu merupakan suatu bahan yang murni, higienis, bernilai gizi tinggi, mengandung sedikit kuman (yang berasal dari kambing) atau boleh dikatakan susu masih steril (Saleh, 2004). Demikian pula bau dan rasa tidak berubah dan tidak berbahaya untuk diminum. Setelah beberapa saat berada dalam suhu kamar, susu sangat peka terhadap pencemaran sehingga dapat menurunkan kualitas susu. Kualitas susu yang sampai ditangan konsumen terutama ditentukan antara lain oleh jenis ternak dan keturunannya (hereditas), tingkat laktasi, umur ternak, peradangan pada ambing, nutrisi/pakan ternak, lingkungan dan prosedur pemerahan susu (Purnomo, 1985).
                Susu yang baik apabila memenuhi persyaratan, antara lain: kandungan jumlah bakteri yang cukup rendah, bebas dari spora dan mikroorganisme penyebab penyakit, memiliki flavour yang baik, bersih, bebas dari debu atau kotoran (Setiawan, 1996). Mikroorganisme yang berkembang didalam susu selain menyebabkan susu menjadi rusak juga membahayakan kesehatan masyarakat sebagai konsumen akhir. Disamping itu penanganan susu yang benar juga dapat menyebabkan daya simpan susu menjadi singkat, harga jual murah yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi pendapatan peternak sebagai produsen susu . Kerusakan pada susu disebabkan oleh terbentuknya asam laktat sebagai hasil fermentasi laktosa oleh koli. Fermentasi oleh bakteri ini akan menyebabkan aroma susu menjadi berubah dan tidak disukai oleh konsumen. Untuk meminimalkan kontaminasi oleh mikroorganisme dan menghambat pertumbuhan bakteri pada susu agar dapat disimpan lebih lama maka penanganan sesudah pemerahan hendaknya menjadi perhatian utama peternak (Iswoyo, 1999).
            Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mencegah kerusakan pada susu adalah dengan cara pemanasan (pasteurisasi) baik dengan suhu tinggi maupun suhu rendah yang dapat diterapkan pada peternak. Dengan pemanasan ini diharapkan akan dapat membunuh bakteri patogen yang membahayakan kesehatan manusia dan meminimalisasi perkembangan bakteri lain, baik selama pemanasan maupun pada saat penyimpanan (Hadiwiyoto, 1994).

1.1 SIFAT FISIK AIR SUSU :
1. Warna air susu
           Warna air susu dapat berubah dari satu warna kewarna yang lain, tergantung dari bangsa ternak, jenis pakan, jumlah lemak, bahan padat dan bahan pembentuk warna. Warna air susu berkisar dari putih kebiruan hingga kuning keemasan. Warna putih dari susu merupakan hasil dispersi dari refleksi cahaya oleh globula lemak dan partikel koloidal dari casein dan calsium phosphat. Warna kuning adalah karena lemak dan caroten yang dapat larut. Bila lemak diambil dari susu maka susu akan menunjukkan warna kebiruan (Purnomo, 1985). 
2. Rasa dan bau air susu :
            Kedua komponen ini erat sekali hubungannya dalam menentukan kualitas air susu. Air susu terasa sedikit manis, yang disebabkan oleh laktosa, sedangkan rasa asin berasal dari klorida, sitrat dan garam-garam mineral lainnya. Bau air susu mudah berubah dari bau yang sedap menjadi bau yang tidak sedap. Bau ini dipengaruhi oleh sifat lemak air susu yang mudah menyerap bau disekitarnya. Demikian juga bahan pakan ternak sapi dapat merubah bau air susu (Anonymous, 2007).
3. Berat jenis air susu :
            Air susu mempunyai berat jenis yang lebih besar daripada air. BJ air susu = 1.027-1.035 dengan rata-rata 1.031. Akan tetapi menurut codex susu, BJ air susu adalah 1.028. Codex susu adalah suatu daftar satuan yang harus dipenuhi air susu sebagai bahan makanan. Daftar ini telah disepakati para ahli gizi dan kesehatan sedunia, walaupun disetiap negara atau daerah mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri. Berat jenis harus ditetapkan 3 jam setelah air susu diperah. Penetapan lebih awal akan menunjukkan hasil BJ yang lebih kecil. Hal ini disebabkan oleh perubahan kondisi lemak dan adanya gas yang timbul didalam air susu (Van, 1981).
4. Kekentalan air susu (viskositas)
            Seperti BJ maka viskositas air susu lebih tinggi daripada air. Viskositas air susu biasanya berkisar 1,5 – 2,0 cP. Pada suhu 20°C viskositas whey 1,2 cP, viskositas susu skim 1,5 cP dan susu segar 2,0 cP. Bahan padat dan lemak air susu mempengaruhi viskositas. Temperatur ikut juga menentukan viskositas air susu. Sifat ini sangat menguntungkan dalam pembuatan mentega (Van, 1981). 
5. Titik beku dan titik cair dari air susu :
            Pada codex air susu dicantumkan bahwa titik beku air susu adalah –0.5000 C. Akan tetapi untuk Indonesia telah berubah menjadi –0.5200 C. Titik beku air adalah 00 C. Apabila terdapat pemalsuan air susu dengan penambahan air, maka dengan mudah dapat dilakukan pengujian dengan uji penentuan titik beku. Karena campuran air susu dengan air akan memperlihatkan titik beku yang lebih besar dari air dan lebih kecil dari air susu. Titik didih air adalah 100°C dan air susu 100.16°C. Titik didih juga akan mengalami perubahan pada pemalsuan air susu dengan air (Van, 1981). 
6. Daya cerna air susu :
      Air susu mengandung bahan/zat makanan yang secara totalitas dapat dicerna, diserap dan dimanfaatkan tubuh dengan sempurna atau 100%. Oleh karena itu air susu dinyatakan sangat baik sebagai bahan makanan. Tidak ada lagi bahan makanan baik dari hewani terlebih-lebih nabati yang sama daya cernanya denagn air susu (Winarno, 1995).

1.2 SIFAT KIMIA SUSU :
            Susu segar mempunyai sifat ampoter, artinya dapat bersifat asam dan basa sekaligus. Jika diberi kertas lakmus biru, maka warnanya akan menjadi merah, sebaliknya jika diberi kertas lakmus merah warnanya akan berubah menjadi biru. Potensial ion hydrogen (pH) susu segar terletak antara 6.5 – 6.7. Jika dititrasi dengan alkali dan kataliasator penolptalin, total asam dalam susu diketahui hanya 0.10 – 0.26 % saja. Sebagian besar asam yang ada dalam susu adalah asam laktat. Meskipun demikian keasaman susu dapat disebabkan oleh berbagai senyawa yang bersifat asam seperti senyawa-senyawa pospat komplek, asam sitrat, asam-asam amino dan karbondioksida yang larut dalam susu. Bila nilai pH air susu lebih tinggi dari 6,7 biasanya diartikan terkena mastitis dan bila pH dibawah 6,5 menunjukkan adanya kolostrum ataupun pemburukan bakteri (Winarno, 1995).

1.3 Mikrobiologi Susu
Susu selain merupakan sumber gizi bagi manusia, juga sebagai sumber makanan bagi perkembangan mikroorganisme. Beberapa faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme meliputi:
1. Suplai Zat Gizi
Mikroorganisme membutuhkan suplai makanan yang akan menjadi sumber energi dan menyediakan unsur-unsur kimia untuk pertumbuhan sel. Unsur-unsur kimia tersebut adalah karbon, nitrogen, hidrogen, oksigen, sulfur, fosfor, magnesium, zat besi, serta sejumlah kecil logam lainnya. Beberapa mikroorganisme seperti spesies Lactobacillus sangat membutuhkan zat-zat gizi dan perlu ditambahkan beberapa vitamin pada media pertumbuhannya.
2. Waktu
Selama pertumbuhan populasi mikroorganisme dikenal empat pertumbuhan yaitu :
a. Fase lambat (lag phase)
Pada awal inokulasi sel ke dalam media nutrien segar biasanya pada suatu periode saat tidak terjadi pembelahan sel. Fase lambat ini dapat terjadi antara beberapa menit sampai beberapa jam tergantung pada spesies, umur dari sel inokulum dan lingkungannya. Waktu pada fase lambat dibutuhkan untuk kegiatan metabolisme dalam rangka persiapan dan penyesuaian diri dengan kondisi pertumbuhan dengan lingkungan yang baru.
b. Fase log (log phase)
Setelah beradaptasi dengan kondisi yang baru, sel-sel ini akan tumbuh dan membelah diri secara eksponensial hingga jumlah maksimum yang dapat dibantu oleh kondisi lingkungan yang dicapai.
c. Fase tetap (stationary phase)
Populasi mikroorganisme jarang dapat tetap tumbuh secara eksponensial dengan kecepatan yang tinggi untuk jangka waktu yang lama. Populasi mikroorganisme biasanya dibatasi oleh habisnya bahan gizi yang tersedia atau pertumbuhan menurun dan pertumbuhannya akhirnya terhenti. Pada titik ini dikatakan sebagai fase tetap. Komposisi sel-sel pada fase ini berbeda dengan fase eksponensial dan umumnya lebih tahan terhadap perubahan-perubahan kondisi fisik seperti panas, dingin dan radiasi maupun terhadap bahan-bahan kimia.
d. Fase menurun (decline or death phase)
Sel-sel yang berada dalam fase tetap akan mati jika tidak dipindahkan ke media segar lainnya. Kecepatan kematian berbeda-beda tergantung pada mikroorganisme dan kondisi lingkungannya.
3. Suhu
Setiap mikroorganisme memiliki suhu pertumbuhan yang berbeda. Pengelompokkan mikroorganisme berdasarkan reaksi pertumbuhannya terhadap suhu diperlihatkan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Pengelompokkan Mikroorganisme Berdasarkan Reaksi PertumbuhannyaTerhadap Suhu
Kelompok Suhu

Suhu
Pertumbuhan
Optimum (oC)
Suhu
Pertumbuhan
Maksimum (oC)
Pertumbuhan
Minimum (oC)

Psikrofil
-15
10
20
Psikrotrof
-5
25
35
Mesofil
5-10
30-37
45
Thermofil
40
45-55
60-80
Thermotrof
15
42-46
50
4. Nilai pH
Kebanyakan mikroorganisme dapat tumbuh pada kisaran pH 6,0-8,0 dan nilai pH di luar kisaran 2,0-10,0 biasanya bersifat merusak. Beberapa mikroorganisme dalam bahan pangan tertentu seperti khamir dan bakteri asam laktat tumbuh dengan baik pada kisaran nilai pH 3,0-6,0 dan sering disebut sebagai asidofil.
5. Aktivitas Air (aw)
Air berperan dalam reaksi metabolik dalam sel dan merupakan alat pengangkut zat-zat gizi atau bahan-bahan limbah ke dalam dan ke luar sel. Air murni mempunyai aw = 1,0. Jenis mikroorganisme yang berbeda membutuhkan jumlah air yang berbeda pula untuk pertumbuhannya. Bakteri umumnya tumbuh dan berkembangbiak pada aw = 0,91 sedangkan khamir membutuhkan nilai aw = 0,87-0,91 dan kapang membutuhkan nilai aw = 0,80-0,87.
6. Ketersediaan Oksigen
Beberapa mikroorganisme dapat dibedakan menjadi empat kelompok berdasarkan kebutuhan terhadap oksigen yaitu:
a. Organisme aerobik-organisme yang membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya.
b. Organisme anaerobik-organisme yang tidak dapat tumbuh dengan adanya oksigen dan bahkan oksigen dapat merupakan racun bagi organisme tersebut.
c. Organisme anaerobik fakultatif-organisme yang menggunakan oksigen apabila tersedia, kalaupun oksigen tidak tersedia organisme tersebut akan tetap tumbuh dengan cara anaerobik.
d. Organisme mikroerofilik-mikroorganisme yang lebih dapat tumbuh pada kadar oksigen yang lebih rendah dibandingkan kadar oksigen atmosfir.


BAB II. PENYIMPANAN PRODUK
            Susu merupakan bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan karena susu merupakan media yang sangat baik bagi mikrobia, sehingga dapat menyebabkan penyakit yang berbahaya bagi yang mengkonsumsinya. Kerusakan susu bisa menyebabkan “defect susu”, misalnya “defect of flavor” atau “defect rancid flavor” (karena ketengikan), “sunlight flavor” (karena susu terkena sinar matahari, sehingga sebaliknya susu dilindungi dari sinar matahari dengan botol berwarna), dan lain-lain. Kerusakan susu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: faktor fisik, faktor kimia, dan faktor mikrobiologi.
2.1 Perubahan Produk Secara Mekanis
            Perubahan susu akibat faktor mekanis dapat berpengaruh pada perubahan produk baik secara kimiawi, biokimiawi, maupun mikrobologis. Beberapa penyebab kerusakan susu secara mekanis diakibatkan adanya kerusakan bahan pengemas susu dan juga proses pengemsan yang tida sesuai standart mutu. Dengan adanya penyebab tersebut memungkinkan susu menyerap cita rasa zat-zat yang ada disekitarnya, seperti cat, sabun, dan dari larutan chlor (Buckle, 1987).
2.2 Perubahan Produk Secara Kimiawi
            Perubahan kimia yang sering terjadi pada susu dikarenakan adanya penangan yang salah pada pra maupun post produksi. Hal ini menimbulkan adanya migrasi unsur dari kandungan yang terdapat pada susu. Sebab-sebab kimiawi yang terjadi disebabkan oleh oksidasi lemak. Selain itu juga mengakibatkan adanya enzim-enzim yang mengubah susunan asam amino sehingga menimbulkan kerusakan (denaturasi) pada susu (Saleh, 2006). Disamping karena adanya perubahan unsur pada susu, migrasi dari bahan pengemas juga dapat terjadi karena adanya pemuaian ataupun susunan partikel dari pengemas yang tidak stabil saat kontak dengan bahan yang dikemas (Adnan, 1984).
Susunan protein di dalam susu sangat komplek dan merupakan protein bermutu tinggi, karena dapat menyediakan asam-asam amino essensial (Winarno, 1990).  Protein air  susu terbagi dalam dua kelompok utama yaitu kasein yang dapat diendapkan oleh asam dan enzim proteolitik, lalu kelompok serat protein whey yang dapat mengalami denaturasi oleh panas pada suhu kira-kira 65 0C (Buckle, 1987).
2.3 Perubahan Produk Secara Biokimia
Bahan-bahan pangan segar (belum terolah) misalnya biji-bijian, sayuran, buah-buahan, daging dan susu akan mengalami perubahan biokimia setelah bahan-bahan ini dipanen atau dipisahkan dari induknya. Bahan-bahan segar ini umumnya mengandung air yang cukup tinggi sehingga memungkinkan adanya akifitas enzim dan menyebabkan terjadinya perubahan warna, tekstur, aroma dan nilai gizi bahan (Ressang, 1988). Perubahan secara biokimia yang biasa terjadi pada susu adalah ransiditas. Ransiditas (ketengikan) diakibatkan karena adanya kegiatan enzim lipase pada lemak susu. Hal ini dikarenakan penyimpanan yang terlalu lama. Munculnya curd akibat adanya perubahan enzimatis yang dihasilkan oleh mikroba (Desrosier, 1988).
2.4 Perubahan Produk Secara Mikrobiologis
            Bahan kemasan seperti logam, gelas dan plastik merupakan penghalang yang baik untuk masuknya mikroorganisme ke dalam bahan yang dikemas, tetapi penutup kemasan merupakan sumber utama dari kontaminasi. Kemasan yang dilipat atau dijepret atau hanya dilapisi ganda merupakan penutup kemasan yang tidak baik (Buckle, 1987). Penyebab kontaminasi mikroorganisme pada susu disebabkan karena adanya mikroorganisme yang timbul sebagai akibat pencemaran dan pertumbuhan bakteri yang menyebabkan peragian laktosa menjadi asam laktat sehingga pH menjadi turun dan hasil samping metabolik lainnya yang mudah menguap (Winarno, 1990).
            Mikroorganisme yang muncul pada susu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah adanya ketidaksempurnaan proses pasteurisasi susu, sterilisasi susu yang kurang maksimal, kebersihan peralatan yang digunakan, atau proses pengemasan yang tidak sempurna. Untuk melindungi bahan pangan yang dikemas terhadap kontaminasi mikroorganisme, maka perlu dipilih jenis kemasan yang dapat melindungi bahan dari serangan mikroorganisme. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memilih jenis kemasan yang baik untuk mencegah kontaminasi mikroba adalah (Syarief, 1989):

  • Sifat perlindungannya terhadap produk dari masuknya mikroorganisme dariluar kemasan ke dalam produk.
  • Kemungkinan berkembang biaknya mikroorganisme di ruangan antara produk dengan tutup (head space).
  • Serangan mikroorganisme terhadap bahan pengemas.
Kerusakan susu akibat mikroorganisme akibat pencemaran primer ataupun sekunder. Pencemaran primer karena didalam ambing sudah terkandung mikroorganisme patogen., sedangkan sekunder terjadi selama penanganan dan pengolahan, yang paling sering terjadi adalah Salmonella dan Staphillococcus. Sedangkan kerusakan karena bacillus cereus terjadi penggumpalan (Sudono, 2004).
Pencemaran oleh bakteri colli karena penanganan pemerahan yang kurang baik, dan kurang aseptis atau juga karena sapi yang diperah mastitis, serta lingkungan dan sanitasi yang kurang memadai. Kerusakan yang timbul bauan yang tidak disukai seperti bau obat-obatan dan agak kepahit-pahitan (Gaman, 1981).
Pencemaran pada susu selain akibat dari jenis micrococcus dan mycobacterium, juga timbul dari sapi, alat-alat pemerahan yang kurang bersih dan tempat-tempat penyimpanan yang kurang higienis, debu, udara, lalat dan penanganan oleh manusia, suhu penyimpanan juga menentukan kecepatan perkembangbiakan mikrobia (Sudono, 2006).
  

BAB III. PENUTUP
            Susu merupakan salah satu bahan pertanian yang memiliki sifat mudah sekali rusak. Hal dapat dilakukan untuk memperpanjang umur prouk yaitu dengan memperbaiki proses produksi dan juga memperbaiki sistem pengemasan pada produk olahan susu. Dengan penggunaan pengemas yang baik dan sesuai dengan arakteristik produk, diuharapkan dapat menjaga serta meningkatkan nilai mutu produk. Pengemasan dapat mempengaruhi mutu pangan antara lain melalui:
1.      perubahan fisik dan kimia karena migrasi zat-zat kimia dari bahan kemas (monomer plastik, timah putih, korosi).
2.      perubahan aroma (flavor), warna, tekstur yang dipengaruhi oleh perpindahan uap air dan O2.


BAB IV. DAFTAR PUSTAKA

Adnan, M. 1984. Kimia dan Teknologi Pengolahan Susu. Andi Ofset, Yogyakarta. 94 hal.
Anonymous, 2007. Protein Susu (Laporan Praktikum). http://one. indoskripsi.com/content/ protein-susu-laporan-praktikum.htm.
Buckle, K.A., R.A. Adwards, G.H. Fleet, M. Wooton. Ilmu Pangan. Terjemahan oleh Hari Purnomo dan Adiono. 1987. Universitas Indonesia Press, Jakarta. 365 hal.
Desrosier. N.W. Teknologi Pengolahan Pangan. Terjemahan oleh Muchji Muljohardjo. 1988. Universitas Indonesia Press, Jakarta. 245 hal.
Gaman, P.M, and K.B, Sherrington. 1981. Ilmu Pangan : Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi.  Edisi kedua Terjemahan oleh Murdjijati Gardjito, Sri Naruki, Agnes Murdiati, Sardjono.  1992.  Gajah Mada University Press. Yogyakarta.  317 hal.
Hadiwiyoto, S. 1983. Hasil-hasil Olahan Susu, Ikan, Daging dan Telur. Liberty. Yogyakarta. 185 hal.
Hadiwiyoto, S., 1994. Pengujian Mutu Susu dan Hasil Olahannya. Penerbit Liberty. Yogyakarta.
Iswoyo dan Hakim, 1999. Uji Fisik dan Kimiawi Susu Kental Manis “Cap Enak” di PT. Indomilk Jakarta. Jurnal Sainteks Vol: VII No. 1: 84-88. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang.
Purnomo, H. dan Adiono. 1985. Ilmu Pangan. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Ressang, A.A. dan A.M. Nasution. 1988. Pedoman Ilmu Kesehatan Susu. (Milk Hygiene). IPB. Bogor.
Saleh, E. 2004. Teknologi Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. Fakultas Pertanian. USU. http://www.library.usu.ac.id.
Saleh, E. 2006. Dasar Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. Fakultas Pertanian. USU. http://www.library.usu.ac.id.
Setiawan, A. I., 1996. Menafaatkan Kotoran Ternak. Penebar swadaya. Jakarta.
Sudono, A., 1983. Produksi Sapi Perah. Departemen Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sudono, A., IK. Abdulgani, H. Najib dan Ratih, A.M., 1999. Penuntun Praktikum Ilmu Produksi Ternak Perah. Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Syarief, R., S.Santausa, St.Ismayana B. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan. Laboratorium Rekayasa Proses Pangan, PAU Pangan dan Gizi, IPB.
Reed, G.  1995.  Enzymes in Food Processing.  Academic Press.  London.
Van den Berg,C and S.Bruin, 1981. Water Activity and Estimation in Food System. In : L.B.Rockland and G. F.Stewart (ed). Water Activity : Influences on Food Quality. Academic Press, New York.
Winarno, F.G. 1990. Migrasi Monomer Plastik Ke Dalam Makanan. Di dalam : S.Fardiaz dan D.Fardiaz (ed), Risalah Seminar Pengemasan dan Transportasi dalam Menunjang Pengembangan Industri, Distribusi dalam Negeri dan Ekspor Pangan. Jakarta.
Winarno, F.G. 1995. Enzim Pangan. Penerbit PT Gramedia, Jakarta. 115 hal.