BAB
I. DESKRIPSI PRODUK
Air
susu termasuk jenis bahan pangan hewani, berupa cairan putih yang dihasilkan
oleh hewan ternak mamalia dan diperoleh dengan cara pemerahan (Hadiwiyoto, 1983).
Air susu merupakan bahan makanan utama bagi makhluk yang baru lahir,
baik bagi hewan maupun manusia. Sebagai bahan makanan/minuman air susu sapi
mempunyai nilai gizi yang tinggi, karena mengandung unsur-unsur kimia yang
dibutuhkan oleh tubuh seperti Calsium, Phosphor, Vitamin A, Vitamin B dan
Riboflavin yang tinggi. Komposisinya yang mudah dicerna dengan kandungan
protein, mineral dan vitamin yang tinggi, menjadikan susu sebagai sumber bahan
makanan yang fleksibel yang dapat diatur kadar lemaknya, sehingga dapat memenuhi
keinginan dan selera konsumen (Gaman, 1981).
Komposisi rata-rata susu sapi
terdiri dari: Air 83,3 %, protein 3,2 %, lemak 4,3 %, karbohidrat 3,5 %, kalium
4,3 mg/100 gr, kalsium 143,3 mg/ 100 gr, fosfor 60 mg/100 gr, besi 1,7 mg/100
gr, vitamin A, SI 130, Vitamin B1 0,3 mg/100 gr dan vitamin C 1 mg/100 gr.
Lemak
tersusun
dari trigliresida yang merupakan gabungan gliserol dan asam-asam lemak. Dalam lemak
susu terdapat 60-75% lemak yang bersifat jenuh, 25-30% lemak yang bersifat tak
jenuh dan sekitar 4% merupakan asam lemak polyunsaturated.(Reed, 1995). Komponen mikro
lemak susu antara lain adalah fosfolipid, sterol, tokoferol (vitamin E),
karoten, serta vitamin A dan D. Laktosa adalah bentuk karbohidrat yang terdapat
di dalam air susu. Kadar laktosa di dalam air susu adalah 4.60% dan ditemukan
dalam keadaan larut. Laktosa terbentuk dari dua komponen gula yaitu glukosa dan
galaktosa. Sifat air susu yang sedikit manis ditentukan oleh laktosa. Kadar laktosa
dalam air susu dapat dirusak oleh beberapa jenis kuman pembentuk asam susu. Pemberian
laktosa atau susu dapat menyebabkan mencret atau gangguan-gangguan perut bagi orang
yang tidak tahan terhadap laktosa. Hal ini disebabkan kurangnya enzim lactase
dalam mukosa usus (Sudono, 1999).
Pada saat susu keluar setelah
diperah, susu merupakan suatu bahan yang murni, higienis, bernilai gizi tinggi,
mengandung sedikit kuman (yang berasal dari kambing) atau boleh dikatakan susu
masih steril (Saleh, 2004). Demikian pula bau dan rasa tidak berubah dan tidak
berbahaya untuk diminum. Setelah beberapa saat berada dalam suhu kamar, susu
sangat peka terhadap pencemaran sehingga dapat menurunkan kualitas susu.
Kualitas susu yang sampai ditangan konsumen terutama ditentukan antara lain
oleh jenis ternak dan keturunannya (hereditas), tingkat laktasi, umur ternak,
peradangan pada ambing, nutrisi/pakan ternak, lingkungan dan prosedur pemerahan
susu (Purnomo, 1985).
Susu yang baik apabila
memenuhi persyaratan, antara lain: kandungan jumlah bakteri yang cukup rendah,
bebas dari spora dan mikroorganisme penyebab penyakit, memiliki flavour yang
baik, bersih, bebas dari debu atau kotoran (Setiawan, 1996). Mikroorganisme yang berkembang didalam susu selain
menyebabkan susu menjadi rusak juga membahayakan kesehatan masyarakat sebagai
konsumen akhir. Disamping itu penanganan susu yang benar juga dapat menyebabkan
daya simpan susu menjadi singkat, harga jual murah yang pada akhirnya juga akan
mempengaruhi pendapatan peternak sebagai produsen susu . Kerusakan pada susu disebabkan oleh terbentuknya asam laktat
sebagai hasil fermentasi laktosa oleh koli. Fermentasi oleh bakteri ini akan
menyebabkan aroma susu menjadi berubah dan tidak disukai oleh konsumen. Untuk
meminimalkan kontaminasi oleh mikroorganisme dan menghambat pertumbuhan bakteri
pada susu agar dapat disimpan lebih lama maka penanganan sesudah pemerahan
hendaknya menjadi perhatian utama peternak (Iswoyo, 1999).
Salah satu cara yang dapat ditempuh
untuk mencegah kerusakan pada susu adalah dengan cara pemanasan (pasteurisasi)
baik dengan suhu tinggi maupun suhu rendah yang dapat diterapkan pada
peternak. Dengan pemanasan ini diharapkan akan dapat membunuh bakteri patogen
yang membahayakan kesehatan manusia dan meminimalisasi perkembangan bakteri
lain, baik selama pemanasan maupun pada saat penyimpanan (Hadiwiyoto, 1994).
1.1
SIFAT FISIK AIR SUSU :
1. Warna air susu
Warna air susu dapat berubah dari satu warna kewarna yang lain, tergantung dari bangsa ternak, jenis pakan, jumlah lemak, bahan padat dan bahan pembentuk warna. Warna air susu berkisar dari putih kebiruan hingga kuning keemasan. Warna putih dari susu merupakan hasil dispersi dari refleksi cahaya oleh globula lemak dan partikel koloidal dari casein dan calsium phosphat. Warna kuning adalah karena lemak dan caroten yang dapat larut. Bila lemak diambil dari susu maka susu akan menunjukkan warna kebiruan (Purnomo, 1985).
2. Rasa dan bau air susu :
1. Warna air susu
Warna air susu dapat berubah dari satu warna kewarna yang lain, tergantung dari bangsa ternak, jenis pakan, jumlah lemak, bahan padat dan bahan pembentuk warna. Warna air susu berkisar dari putih kebiruan hingga kuning keemasan. Warna putih dari susu merupakan hasil dispersi dari refleksi cahaya oleh globula lemak dan partikel koloidal dari casein dan calsium phosphat. Warna kuning adalah karena lemak dan caroten yang dapat larut. Bila lemak diambil dari susu maka susu akan menunjukkan warna kebiruan (Purnomo, 1985).
2. Rasa dan bau air susu :
Kedua komponen ini erat sekali hubungannya dalam
menentukan kualitas air susu. Air susu terasa sedikit manis, yang disebabkan
oleh laktosa, sedangkan rasa asin berasal dari klorida, sitrat dan garam-garam
mineral lainnya. Bau air susu mudah berubah dari bau yang sedap menjadi bau
yang tidak sedap. Bau ini dipengaruhi oleh sifat lemak air susu yang mudah
menyerap bau disekitarnya. Demikian juga bahan pakan ternak sapi dapat merubah
bau air susu (Anonymous, 2007).
3. Berat jenis air susu :
Air susu mempunyai berat jenis yang lebih besar daripada
air. BJ air susu = 1.027-1.035 dengan rata-rata 1.031. Akan tetapi menurut
codex susu, BJ air susu adalah 1.028. Codex susu adalah suatu daftar satuan
yang harus dipenuhi air susu sebagai bahan makanan. Daftar ini telah disepakati
para ahli gizi dan kesehatan sedunia, walaupun disetiap negara atau daerah
mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri. Berat jenis harus ditetapkan 3 jam
setelah air susu diperah. Penetapan lebih awal akan menunjukkan hasil BJ yang
lebih kecil. Hal ini disebabkan oleh perubahan kondisi lemak dan adanya gas
yang timbul didalam air susu (Van, 1981).
4. Kekentalan air susu (viskositas)
4. Kekentalan air susu (viskositas)
Seperti BJ maka viskositas air susu lebih tinggi daripada
air. Viskositas air susu biasanya berkisar 1,5 – 2,0 cP. Pada suhu 20°C
viskositas whey 1,2 cP, viskositas susu skim 1,5 cP dan susu segar 2,0 cP.
Bahan padat dan lemak air susu mempengaruhi viskositas. Temperatur ikut juga
menentukan viskositas air susu. Sifat ini sangat menguntungkan dalam pembuatan
mentega (Van, 1981).
5. Titik beku dan titik cair
dari air susu :
Pada codex air susu dicantumkan bahwa titik beku air susu
adalah –0.5000 C. Akan tetapi untuk Indonesia telah berubah menjadi
–0.5200 C.
Titik beku air adalah 00 C. Apabila terdapat pemalsuan air susu
dengan penambahan air, maka dengan mudah dapat dilakukan pengujian dengan uji
penentuan titik beku. Karena campuran air susu dengan air akan memperlihatkan
titik beku yang lebih besar dari air dan lebih kecil dari air susu. Titik didih
air adalah 100°C dan air susu 100.16°C. Titik didih juga akan mengalami
perubahan pada pemalsuan air susu dengan air (Van, 1981).
6. Daya cerna air susu :
Air susu mengandung bahan/zat makanan yang secara totalitas dapat dicerna, diserap dan dimanfaatkan tubuh dengan sempurna atau 100%. Oleh karena itu air susu dinyatakan sangat baik sebagai bahan makanan. Tidak ada lagi bahan makanan baik dari hewani terlebih-lebih nabati yang sama daya cernanya denagn air susu (Winarno, 1995).
6. Daya cerna air susu :
Air susu mengandung bahan/zat makanan yang secara totalitas dapat dicerna, diserap dan dimanfaatkan tubuh dengan sempurna atau 100%. Oleh karena itu air susu dinyatakan sangat baik sebagai bahan makanan. Tidak ada lagi bahan makanan baik dari hewani terlebih-lebih nabati yang sama daya cernanya denagn air susu (Winarno, 1995).
1.2 SIFAT KIMIA SUSU :
Susu segar mempunyai
sifat ampoter, artinya
dapat bersifat asam dan basa sekaligus. Jika diberi kertas lakmus biru, maka
warnanya akan menjadi merah, sebaliknya jika diberi kertas lakmus merah
warnanya akan berubah menjadi biru. Potensial ion hydrogen (pH) susu segar
terletak antara 6.5 – 6.7. Jika dititrasi dengan alkali dan kataliasator
penolptalin, total asam dalam susu diketahui hanya 0.10 – 0.26 % saja. Sebagian
besar asam yang ada dalam susu adalah asam laktat. Meskipun demikian keasaman
susu dapat disebabkan oleh berbagai senyawa yang bersifat asam seperti
senyawa-senyawa pospat komplek, asam sitrat, asam-asam amino dan karbondioksida
yang larut dalam susu. Bila nilai pH air susu lebih tinggi dari 6,7 biasanya
diartikan terkena mastitis dan bila pH dibawah 6,5 menunjukkan adanya kolostrum
ataupun pemburukan bakteri (Winarno, 1995).
1.3 Mikrobiologi
Susu
Susu selain merupakan sumber gizi bagi manusia, juga
sebagai sumber makanan
bagi perkembangan mikroorganisme. Beberapa faktor utama yang mempengaruhi
pertumbuhan mikroorganisme meliputi:
1.
Suplai Zat Gizi
Mikroorganisme
membutuhkan suplai makanan yang akan menjadi sumber energi
dan menyediakan unsur-unsur kimia untuk pertumbuhan sel. Unsur-unsur kimia
tersebut adalah karbon, nitrogen, hidrogen, oksigen, sulfur, fosfor, magnesium, zat
besi, serta sejumlah kecil logam lainnya. Beberapa mikroorganisme seperti spesies
Lactobacillus sangat membutuhkan zat-zat gizi dan perlu ditambahkan beberapa
vitamin pada media pertumbuhannya.
2.
Waktu
Selama
pertumbuhan populasi mikroorganisme dikenal empat pertumbuhan yaitu
:
a.
Fase lambat (lag phase)
Pada
awal inokulasi sel ke dalam media nutrien segar biasanya pada suatu periode
saat tidak terjadi pembelahan sel. Fase lambat ini dapat terjadi antara beberapa
menit sampai beberapa jam tergantung pada spesies, umur dari sel inokulum dan
lingkungannya. Waktu pada fase lambat dibutuhkan untuk kegiatan metabolisme dalam
rangka persiapan dan penyesuaian diri dengan kondisi pertumbuhan dengan lingkungan
yang baru.
b.
Fase log (log phase)
Setelah
beradaptasi dengan kondisi yang baru, sel-sel ini akan tumbuh dan membelah
diri secara eksponensial hingga jumlah maksimum yang dapat dibantu oleh
kondisi lingkungan yang dicapai.
c.
Fase tetap (stationary phase)
Populasi
mikroorganisme jarang dapat tetap tumbuh secara eksponensial dengan
kecepatan yang tinggi untuk jangka waktu yang lama. Populasi mikroorganisme
biasanya dibatasi oleh habisnya bahan gizi yang tersedia atau pertumbuhan
menurun dan pertumbuhannya akhirnya terhenti. Pada titik ini dikatakan
sebagai fase tetap. Komposisi sel-sel pada fase ini berbeda dengan fase eksponensial
dan umumnya lebih tahan terhadap perubahan-perubahan kondisi fisik seperti
panas, dingin dan radiasi maupun terhadap bahan-bahan kimia.
d.
Fase menurun (decline or death phase)
Sel-sel
yang berada dalam fase tetap akan mati jika tidak dipindahkan ke media
segar lainnya. Kecepatan kematian berbeda-beda tergantung pada mikroorganisme
dan kondisi lingkungannya.
3.
Suhu
Setiap
mikroorganisme memiliki suhu pertumbuhan yang berbeda. Pengelompokkan
mikroorganisme berdasarkan reaksi pertumbuhannya terhadap suhu diperlihatkan
pada Tabel 2.1.
Tabel
2.1. Pengelompokkan Mikroorganisme Berdasarkan Reaksi PertumbuhannyaTerhadap Suhu
Kelompok
Suhu
|
Suhu
Pertumbuhan
Optimum
(oC)
|
Suhu
Pertumbuhan
Maksimum
(oC)
|
Pertumbuhan
Minimum
(oC)
|
Psikrofil
|
-15
|
10
|
20
|
Psikrotrof
|
-5
|
25
|
35
|
Mesofil
|
5-10
|
30-37
|
45
|
Thermofil
|
40
|
45-55
|
60-80
|
Thermotrof
|
15
|
42-46
|
50
|
4.
Nilai pH
Kebanyakan mikroorganisme dapat tumbuh pada kisaran
pH 6,0-8,0 dan nilai pH
di luar kisaran 2,0-10,0 biasanya bersifat merusak. Beberapa mikroorganisme dalam
bahan pangan tertentu seperti khamir dan bakteri asam laktat tumbuh dengan baik
pada kisaran nilai pH 3,0-6,0 dan sering disebut sebagai asidofil.
5.
Aktivitas Air (aw)
Air
berperan dalam reaksi metabolik dalam sel dan merupakan alat pengangkut
zat-zat gizi atau bahan-bahan limbah ke dalam dan ke luar sel. Air murni mempunyai
aw = 1,0. Jenis mikroorganisme yang berbeda membutuhkan jumlah air yang
berbeda pula untuk pertumbuhannya. Bakteri umumnya tumbuh dan berkembangbiak
pada aw = 0,91 sedangkan khamir membutuhkan nilai aw = 0,87-0,91 dan
kapang membutuhkan nilai aw = 0,80-0,87.
6.
Ketersediaan Oksigen
Beberapa
mikroorganisme dapat dibedakan menjadi empat kelompok berdasarkan
kebutuhan terhadap oksigen yaitu:
a.
Organisme aerobik-organisme yang membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya.
b.
Organisme anaerobik-organisme yang tidak dapat tumbuh dengan adanya oksigen dan
bahkan oksigen dapat merupakan racun bagi organisme tersebut.
c.
Organisme anaerobik fakultatif-organisme yang menggunakan oksigen apabila tersedia,
kalaupun oksigen tidak tersedia organisme tersebut akan tetap tumbuh dengan
cara anaerobik.
d.
Organisme mikroerofilik-mikroorganisme yang lebih dapat tumbuh pada kadar oksigen
yang lebih rendah dibandingkan kadar oksigen atmosfir.
BAB II. PENYIMPANAN PRODUK
Susu
merupakan bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan karena susu merupakan
media yang sangat baik bagi mikrobia, sehingga dapat menyebabkan penyakit yang
berbahaya bagi yang mengkonsumsinya. Kerusakan susu bisa menyebabkan “defect susu”, misalnya “defect of flavor” atau “defect rancid flavor” (karena
ketengikan), “sunlight flavor” (karena
susu terkena sinar matahari, sehingga sebaliknya susu dilindungi dari sinar
matahari dengan botol berwarna), dan lain-lain. Kerusakan susu dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: faktor fisik, faktor kimia, dan faktor
mikrobiologi.
2.1 Perubahan Produk Secara Mekanis
Perubahan
susu akibat faktor mekanis dapat berpengaruh pada perubahan produk baik secara
kimiawi, biokimiawi, maupun mikrobologis. Beberapa penyebab kerusakan susu
secara mekanis diakibatkan adanya kerusakan bahan pengemas susu dan juga proses
pengemsan yang tida sesuai standart mutu. Dengan adanya penyebab tersebut
memungkinkan susu menyerap cita rasa zat-zat yang ada
disekitarnya, seperti cat, sabun, dan dari larutan chlor (Buckle, 1987).
2.2 Perubahan Produk Secara Kimiawi
Perubahan
kimia yang sering terjadi pada susu dikarenakan adanya penangan yang salah pada
pra maupun post produksi. Hal ini menimbulkan adanya migrasi unsur dari
kandungan yang terdapat pada susu. Sebab-sebab
kimiawi yang terjadi disebabkan oleh oksidasi lemak. Selain itu juga
mengakibatkan adanya enzim-enzim yang mengubah susunan asam amino sehingga
menimbulkan kerusakan (denaturasi) pada susu (Saleh, 2006). Disamping karena
adanya perubahan unsur pada susu, migrasi dari bahan pengemas juga dapat
terjadi karena adanya pemuaian ataupun susunan partikel dari pengemas
yang tidak stabil saat kontak dengan bahan yang dikemas (Adnan, 1984).
Susunan protein di dalam susu
sangat komplek dan merupakan protein bermutu tinggi, karena dapat menyediakan
asam-asam amino essensial (Winarno, 1990). Protein air susu terbagi dalam dua kelompok utama
yaitu kasein yang dapat diendapkan oleh asam dan enzim proteolitik, lalu
kelompok serat protein whey yang dapat mengalami denaturasi oleh panas pada
suhu kira-kira 65 0C
(Buckle, 1987).
2.3 Perubahan Produk Secara
Biokimia
Bahan-bahan pangan segar (belum terolah) misalnya
biji-bijian, sayuran, buah-buahan, daging dan susu akan mengalami perubahan
biokimia setelah bahan-bahan ini dipanen atau dipisahkan dari induknya.
Bahan-bahan segar ini umumnya mengandung air yang cukup tinggi sehingga
memungkinkan adanya akifitas enzim dan menyebabkan terjadinya perubahan warna,
tekstur, aroma dan nilai gizi bahan (Ressang, 1988). Perubahan secara biokimia
yang biasa terjadi pada susu adalah ransiditas. Ransiditas (ketengikan) diakibatkan
karena adanya kegiatan enzim lipase pada lemak susu. Hal ini dikarenakan
penyimpanan yang terlalu lama. Munculnya curd akibat adanya perubahan enzimatis
yang dihasilkan oleh mikroba (Desrosier, 1988).
2.4 Perubahan Produk Secara
Mikrobiologis
Bahan
kemasan seperti logam, gelas dan plastik merupakan penghalang yang baik untuk
masuknya mikroorganisme ke dalam bahan yang dikemas, tetapi penutup kemasan
merupakan sumber utama dari kontaminasi. Kemasan yang dilipat atau dijepret
atau hanya dilapisi ganda merupakan penutup kemasan yang tidak baik (Buckle,
1987). Penyebab kontaminasi mikroorganisme pada susu disebabkan karena adanya mikroorganisme yang timbul sebagai akibat pencemaran dan pertumbuhan
bakteri yang menyebabkan peragian laktosa menjadi asam laktat sehingga pH
menjadi turun dan hasil samping metabolik lainnya yang mudah menguap (Winarno,
1990).
Mikroorganisme
yang muncul pada susu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah
adanya ketidaksempurnaan proses pasteurisasi susu, sterilisasi susu yang kurang
maksimal, kebersihan peralatan yang digunakan, atau proses pengemasan yang
tidak sempurna. Untuk melindungi bahan pangan yang dikemas terhadap kontaminasi
mikroorganisme, maka perlu dipilih jenis kemasan yang dapat melindungi bahan
dari serangan mikroorganisme. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam
memilih jenis kemasan yang baik untuk mencegah kontaminasi mikroba adalah
(Syarief, 1989):
- Sifat perlindungannya terhadap produk dari masuknya mikroorganisme dariluar kemasan ke dalam produk.
- Kemungkinan berkembang biaknya mikroorganisme di ruangan antara produk dengan tutup (head space).
- Serangan mikroorganisme terhadap bahan pengemas.
Kerusakan susu akibat mikroorganisme akibat
pencemaran primer ataupun sekunder. Pencemaran primer karena didalam ambing
sudah terkandung mikroorganisme patogen., sedangkan sekunder terjadi selama
penanganan dan pengolahan, yang paling sering terjadi adalah Salmonella dan Staphillococcus. Sedangkan kerusakan karena bacillus cereus terjadi penggumpalan (Sudono, 2004).
Pencemaran oleh bakteri colli karena penanganan pemerahan yang kurang baik, dan kurang
aseptis atau juga karena sapi yang diperah mastitis, serta lingkungan dan
sanitasi yang kurang memadai. Kerusakan yang timbul bauan yang tidak disukai
seperti bau obat-obatan dan agak kepahit-pahitan (Gaman, 1981).
Pencemaran pada susu selain akibat dari jenis micrococcus dan mycobacterium, juga timbul dari sapi, alat-alat pemerahan yang
kurang bersih dan tempat-tempat penyimpanan yang kurang higienis, debu, udara,
lalat dan penanganan oleh manusia, suhu penyimpanan juga menentukan kecepatan
perkembangbiakan mikrobia (Sudono, 2006).
BAB III. PENUTUP
Susu merupakan salah satu bahan
pertanian yang memiliki sifat mudah sekali rusak. Hal dapat dilakukan untuk
memperpanjang umur prouk yaitu dengan memperbaiki proses produksi dan juga
memperbaiki sistem pengemasan pada produk olahan susu. Dengan penggunaan pengemas
yang baik dan sesuai dengan arakteristik produk, diuharapkan dapat menjaga
serta meningkatkan nilai mutu produk. Pengemasan dapat mempengaruhi mutu pangan
antara lain melalui:
1. perubahan
fisik dan kimia karena migrasi zat-zat kimia dari bahan kemas (monomer plastik,
timah putih, korosi).
2. perubahan
aroma (flavor), warna, tekstur yang dipengaruhi oleh perpindahan uap air dan
O2.
BAB IV. DAFTAR PUSTAKA
Adnan, M.
1984. Kimia dan Teknologi Pengolahan
Susu. Andi Ofset, Yogyakarta. 94 hal.
Anonymous, 2007.
Protein Susu (Laporan Praktikum). http://one. indoskripsi.com/content/ protein-susu-laporan-praktikum.htm.
Buckle,
K.A., R.A. Adwards, G.H. Fleet, M. Wooton. Ilmu Pangan. Terjemahan oleh Hari Purnomo dan Adiono. 1987.
Universitas Indonesia Press, Jakarta. 365 hal.
Desrosier.
N.W. Teknologi Pengolahan Pangan.
Terjemahan oleh Muchji Muljohardjo. 1988. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
245 hal.
Gaman,
P.M, and K.B, Sherrington. 1981. Ilmu
Pangan : Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Edisi
kedua Terjemahan oleh Murdjijati Gardjito, Sri Naruki, Agnes Murdiati,
Sardjono. 1992. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta. 317 hal.
Hadiwiyoto, S.
1983. Hasil-hasil Olahan Susu, Ikan, Daging dan Telur. Liberty. Yogyakarta. 185
hal.
Hadiwiyoto,
S., 1994. Pengujian Mutu Susu dan Hasil Olahannya. Penerbit Liberty.
Yogyakarta.
Iswoyo
dan Hakim, 1999. Uji Fisik dan Kimiawi Susu Kental Manis “Cap Enak” di PT.
Indomilk Jakarta. Jurnal Sainteks Vol: VII No. 1: 84-88. Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya, Malang.
Purnomo, H. dan
Adiono. 1985. Ilmu Pangan. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Ressang, A.A.
dan A.M. Nasution. 1988. Pedoman Ilmu Kesehatan Susu. (Milk Hygiene). IPB. Bogor.
Saleh, E. 2004.
Teknologi Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. Fakultas Pertanian. USU. http://www.library.usu.ac.id.
Saleh, E. 2006.
Dasar Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. Fakultas Pertanian. USU. http://www.library.usu.ac.id.
Setiawan, A. I., 1996. Menafaatkan
Kotoran Ternak. Penebar swadaya. Jakarta.
Sudono,
A., 1983. Produksi Sapi Perah. Departemen Ilmu Produksi Ternak. Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sudono, A., IK. Abdulgani, H. Najib dan
Ratih, A.M., 1999. Penuntun Praktikum Ilmu Produksi Ternak Perah. Jurusan Ilmu
Produksi Ternak. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Syarief, R.,
S.Santausa, St.Ismayana B. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan. Laboratorium Rekayasa
Proses Pangan, PAU Pangan dan Gizi, IPB.
Reed,
G. 1995. Enzymes in Food Processing. Academic
Press. London.
Van den Berg,C
and S.Bruin, 1981. Water Activity and
Estimation in Food System. In : L.B.Rockland and G. F.Stewart (ed). Water
Activity : Influences on Food Quality.
Academic Press, New York.
Winarno, F.G.
1990. Migrasi Monomer Plastik Ke Dalam Makanan. Di dalam : S.Fardiaz dan
D.Fardiaz (ed), Risalah Seminar Pengemasan dan Transportasi dalam Menunjang
Pengembangan Industri, Distribusi dalam Negeri dan Ekspor Pangan. Jakarta.
Winarno,
F.G. 1995. Enzim Pangan.
Penerbit PT Gramedia, Jakarta. 115 hal.
terima kasih gan
BalasHapus